Kamis, 30 Juni 2016

Zone Rouge: Zona Terlarang di Perancis, Sejarah Kelam, dan Kenangan Tersembunyinya

"Village detruit", desa hancur.

"Entree interdite", Dilarang masuk.

Mendengar nama Perancis, banyak yang akan mengasosiasikannya dengan kota Paris. Kota tua yang indah, dengan Menara Eiffel-nya yang indah dan megah, dan masyarakatnya yang liberal. Pemandangan di luar kota pun tidak kalah indah. Bebukitan hijau yang naik-turun di sepanjang cakrawala, rumput yang hijau, dan iklim yang nyaman. Daerah pedesaan Prancis mungkin telah menjadi salah satu destinasi wisata, liburan, sampai bulan madu impian orang-orang.

Namun begitu, tak semua daerah pinggiran kota dan pedasaan Prancis tenang, damai, dan indah. Beberapa daerah di Prancis, di balik pemandangan indahnya, tersimpan “kenang-kenangan” pahit dari The Great War, perang besar di daratan Eropa, 100 tahun lalu.

Pemandangan suatu daerah hutan di Verdun, suatu daerah di Prancis sebelah Timur Laut misalnya, adalah suatu lapangan dengan tanah dan bebukitan kecil yang bergelombang disertai ceruk-ceruk kecil, seperti halnya pemandangan dunia Teletubbies (sebuah acara televisi 90-an yang mungkin tidak semua orang tahu lagi di zaman sekarang).

Akan tetapi jangan tertipu, karena pemandangan bukit bergelombang ini sebenarnya bukan terbentuk secara alami. Bukit-bukit bergelombang ini awalnya tanah lapang atau bukit yang lebih besar, yang digerogoti oleh cekungan-cekungan yang tercipta akibat ledakan peluru-peluru mortar dan granat yang jatuh di tanah bebukitan tadi.

Hutan dan bebukitan Kota Verdun pernah menjadi area pertempuran Perang Verdun di Perang Dunia I. Ini adalah salah satu perang paling mengerikan yang terjadi selama perang besar Eropa tersebut berkecamuk. Beberapa daerah di sekitar Verdun menjadi bagian dari yang kini dikenal sebagai Zone Rouge, istilah yang jika diterjemahkan bebas ke bahasa Indonesia menjadi ‘zona merah’.

Zone Rouge adalah rentetan daerah di wilayah Prancis sebelah Timur laut yang diisolir oleh pemerintah Prancis pasca-Perang Dunia I. Alasan dari isolasi tersebut adalah karena lingkungan di lingkup daerah dengan total luas 1.200 km per segi itu dinilai tidak lagi layak untuk dihuni makhluk hidup. Oleh karena itu, selepas Perang Dunia I, Zone Rouge dideskripsikan sebagai daerah yang hancur total. Seratus persen bangunan hancur, seratus persen lingkungan hidup hancur, dan seratus persen tidak bisa dikelola sebagai lahan pertanian. Dan sampai kini, sebagian besar daerah yang terdampak Zone Rouge masih dalam status pelarangan populisasi (pendudukan) kembali.

Alasan utama dari pelarangan pendudukan kembali daerah di Zone Rouge salah satunya adalah di bawah tanah daerah tersebut, terkubur banyak sekali sisa-sisa munisi yang belum meledak, mulai dari peluru senapan, peluru meriam, mortar, granat ledak, granat asap, munisi senjata gas beracun, dan sebagainya. Sebagian besar dari munisi tersebut masih aktif dan belum meledak. Sebagian lagi yang telah terserap hancur ke dalam tanah lantas mengotori dan menjadi polutan pada tanah sehingga nyaris mustahil untuk ditanami kembali.

Setelah Perang Dunia I, pemerintah Prancis sangat kesulitan membersihkan sisa-sisa munisi, jasad korban, dan mayat hewan yang bertebaran di sekitar area yang aslinya seluas 1200 kilometer per segi ini. Pemerintah akhirnya terpaksa merelokasi para penduduk yang terdampak ke wilayah lain. Daerah yang kosong ditinggalkan dilarang untuk dimasuki, dan pembangunan ulang desa-desa atau kota yang hancur di dalam Zone Rouge dibatalkan.

Desa Douaumont yang lenyap selamanya dari peta dan dari muka bumi.

Proses pemulihan kembali daerah Zone Rouge sebagian besar diserahkan kepada alam, meskipun peneliti berspekulasi bahwa pemulihan total melalui alam mebutuhkan waktu yang sangat lama. Prancis bahkan sampai mendirikan departemen khusus untuk pembersihan sisa-sisa perang ini, disebut sebagai Département du Déminage (Departemen Pembersihan Ranjau).

Setiap tahunnya, para pekerja dari departemen ini menemukan rata-rata 900 ton amunisi aktif. Dan sejak 1945, 630 orang petugas pembersihan dari departemen ini gugur dalam tugas. Salah satu kecelakaan terakhir, terjadi 1998, 2 petugas tewas ketika mengurus munisi di sekitar Vimy, Prancis. Korban di pihak warga sipil pun tidak sedikit. Di sekitar Ypres saja, 260 orang telah meninggal dan 535 orang terluka ringan atau berat sejak Perang Dunia I usai.

Pada 2004, peneliti dari Jerman mendapatkan hasil riset bahwa tanah di daerah Zone Rouge memiliki kandungan zat arsen rata-rata 17%. Air di selingkung daerah tersebut mengandung racun arsenik 300 kali lipat dari ambang batas toleransi. Dan pada beberapa bangkai binatang yang berhasil diburu di daerah tersebut, ditemukan kandungan zat racun timah yang sangat tinggi.

Maka dari itulah, sampai saat ini pemerintah Prancis masih belum membuka status isolasi pada beberapa daerah di Zone Rouge, meskipun tiap tahun luasnya memang semakin berkurang. Kini, di bekas daerah terdampak yang asli, telah ada wilayah Yellow Zone dan Green Zone yang sudah mulai diduduki kembali oleh masyarakat. Meskipun begitu, penduduk tetap harus berhati-hati karena tak ada yang tahu pasti, apa yang masih terkubur di bawah tanah rumah atau ladang mereka. Namun karena di beberapa daerah memang masih belum dibersihkan dari peluru dan gas beracun, beberapa daerah masih ditandai sebagai zona larangan.

And all this madness, all this rage, all this flaming death of our civilization and our hopes, has been brought about because a set of official gentlemen, living luxurious lives, mostly stupid, and all without imagination or heart, have chosen that it should occur rather than that any one of them should suffer some infinitesimal rebuff to his country`s pride. (Bertrand Russel, 1914)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar