Jumat, 07 Juni 2013

Tiga Kelompok Besar Folklor menurut Brunvand



Folklor itu luas. Saking luasnya, jika dijelaskan satu per satu jenisnya, identitasnya, dan fungsinya, mungkin orang-orang keburu bosan mendengar atau membacanya. Mengapa folklor bisa seluas itu? Karena folklor itu muncul dengan spontan--seringkali masyarakat tidak menyadari bahwa mereka sedang menciptakan atau menyebarkan unsur folklor--dan dapat muncul dari siapa saja, sehingga foklor hidup dan mengalir di dalam kehidupan manusia, menyatu dan berasimilasi, menjadi bagian dari sistem kebudayaan kolektif pemiliknya.

Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari Amerika Serikat menggolongkan tiga kelompok besar folklor berdasarkan tipenya.
(1) folklor lisan,
(2) folklor sebagian lisan, dan
(3) folklor bukan lisan
Nah, pertama kali membaca tentang hal ini, saya jadi teringat dengan judul mata kuliah saya waktu itu, "Sastra Lisan" yang saya anggap sama dengan folklor. Sastra lisan memang folklor, bagian dari folklor tepatnya, sehingga folklor tidak semata-mata sastra lisan. Ada pula hal-hal nonlisan lain yang masuk di dalam folklor. Namun begitu, penyebaran unsur bukan lisan itu biasanya lebih cenderung menggunakan lisan alih-alih sarana/media nonlisan, sehingga berkait erat dengan sastra lisan. Bingung? Jangan dong! 😉

Folklor Lisan

Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan (Dananjaya, 1991:21). Bentuk folklor yang termasuk dalam kelompok ini misalnya:
(a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, serta pangkat atau gelar tradisional (termasuk gelar kebangsawanan),
(b) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan idiom,
(c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki,
(d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair,
(e) cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng, serta
(f) nyanyian rakyat
Dalam folklor Indonesia, contoh bahasa rakyat adalah logat atau dialek bahasa-bahasa Nusantara. Bentuk lain bahasa rakyat adalah bahasa ragam slang. Dalam kamus Webster's new World Dictionary of the American Language (1959), slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau kolektif khusus. Maksud diciptakannya bahasa slang adalah untuk menyamarkan arti atau makna komunikasi sebenarnya dari orang luar (kolektif), atau orang yang tidak tahu tentang slang tersebut. Kini, bahasa slang dalam arti khusus itu dikenal sebagai cant. Cant khusus untuk para penjahat sendiri kini dikenal sebagai argot.

Bahasa rakyat lain yang mirip dengan slang adalah shop talk, atau bahasa para pedagang. Istilah-istilah dagang untuk menyatakan harga atau nilai seperti jigo (dua puluh lima), cepek (seratus), ceban (sepuluh ribu), goban (lima puluh ribu), dan cetiau (satu juta) adalah contohnya.

Bentuk slang yang lain misalnya colloquial atau bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, seperti bahasa para mahasiswa di Jakarta yang pada dasarnya adalah bahasa orang Betawi yang dibubuhi dengan istilah khusus, seperti ajegile (gila), manyala bob (sangat menarik), dan gense (genit). Fungsi colloquial ini berbeda dari fungsi jargon karena jargon cenderung dipergunakan oleh para sarjana atau para intelek untuk menambah gengsinya, sedangkan colloquial dipergunakan dengan maksud untuk menambah keintiman atau keakraban hubungan (melalui komunikasi).

Selain itu, berikut ini adalah jenis-jenis bahasa rakyat yang lain.
  • Sirkumlokusi (circumlocution), yaitu ungkapan tidak langsung. Biasanya berupa penggunaan kata lain untuk mengganti atau mewakili penyebutan kata tertentu, karena kata tersebut, oleh karena suatu sebab atau kondisi tidak boleh diucapkan.
  • Pemberian nama pada anak, khususnya kepada orang Jawa, yang dapat berubah-ubah. Pada awalnya, orang tua memberi nama berdasarkan perhitungan tanggal dan hari lahir, kemudian nanti nama itu dapat diganti jika kelak ia mendapat kedudukan di dalam pemerintahan, dan dapat ditukar lagi sesuai dengan kedudukannya yang baru apabila kemudian naik pangkat.
  • Nama julukan, yang seringkali diilhami oleh kondisi fisik atau penampilan orang yang dijuluki.
  • Gelar kebangsawanan.
  • Bahasa bertingkat (speech level); dalam bahasa Sunda misalnya, dikenal sebagai undak usuk.
  • Onomastis (onomastics), yaitu nama tradisional jalan atau tempat-tempat tertentu yang mempunyai legenda sebagai sejarah terbentuknya.

Folklor Sebagian Lisan

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan (Dananjaya, 1991:22). Kepercayaan rakyat atau takhyul yang seringkali ditolak oleh orang-orang yang mengatakan dirinya modern itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat dan ditambah dengan gerak isyarat atau benda-benda tertentu yang dianggap memiliki makna atau pengaruh gaib--memelihara benda pusaka seperti keris dan jimat, misalnya. Selain kepercayaan rakyat, bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok sebagian lisan adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Folklor Bukan Lisan

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan meskipun cara pembuatannya diajarkan secara lisan (Dananjaya, 1991:22). Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok lagi, yaitu yang material dan nonmaterial. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material misalnya arsitektur tradisional, kerajinan tangan rakyat (termasuk teknologi perkakas yang dibuat rakyat), pakaian dan perhiasan-tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, serta obat-obatan tradisional. Yang termasuk nonmaterial antara lain gerak isyarat (gesture) tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat.

2 komentar: