Jumat, 10 Mei 2013

Tentang Folklor: sebuah rangkuman pembacaan buku "Folklor Indonesia"

Apa itu Folklor?


Sepanjang pengetahuan saya, buku tentang folklor yang cukup lengkap pembahasannya adalah buku yang pernah ditulis oleh Prof. Dr. James Dananjaya, seorang antropolog dan pakar foklor yang mengajar di Universitas Indonesia. Pertama kali berjumpa dengan buku tersebut adalah ketika saya berkuliah strata-1 di jurusan sastra Indonesia, tepatnya di mata kuliah Sastra Lisan.

Menurut Dananjaya (1991: 1), folklor adalah pengindonesiaan istilah Inggris folklore yang berasal dari penggabungan dua kata: folk dan lore. Arti folk di sini sama dengan kolektif menurut Koentjaraningrat, (1965:106-109). Alan Dundes dalam Dananjaya (1991:1) sendiri menjelaskan bahwa folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang paling penting adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi atau kebudayaan yang telah diwarisi secara turun-temurun (sedikitnya dua generasi) yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, mereka juga sadar akan identitas kelompok mereka sendiri.

Situ Patenggang (atau Situ Patengan) di Ciwidey, Jawa Barat
yang dimitoskan sebagai lokasi bertemunya Ki Santang dan Dewi Rengganis
dalam folkor lokal.


Dananjaya (1991: 1) menganggap lore sebagai tradisi suatu folk. Tradisi di sini berarti sebagian dari sistem kebudayaan, karena sistem kebudayaan itu sangat luas dan terdiri dari berbagai komponen/unsur. Lore diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu percontohan yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu-ingat (mnemonic device).

Ciri-ciri pengenal folklor


Bagaimana cara membedakan suatu unsur kebudayaan adalah folklor sementara yang lain bukan? Ciri-ciri yang dipaparkan oleh Dananjaya (1991:3) berikut ini dapat digunakan sebagai patokan pembeda.

  1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan. Dengan kata lain, penyebarannya melalui tutur kata dari mulut ke mulut, atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu-ingat, dari satu generasi ke generasi berikutnya (turun-temurun).
  2. Folklor bersifat tradisional. Artinya, folklor disebarkan dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk standar (default), disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang relatif lama (Dananjaya [1991:1 dan 4] menyebutkan setidaknya dua generasi).
  3. Foklor memiliki versi-versi atau varian-varian. Hal ini mungkin diakibatkan karena metode penyebarannya yang melalui cerita mulut ke mulut, bukan melalui suatu alat rekam yang dapat menyimpan satu versi dengan akurat. Suatu lore yang metode penyebarannya secara lisan mudah berubah karena terintervensi oleh lupa atau mungkin kesengajaan (interpolasi, penambahan atau penggantian unsur-unsur tertentu dalam lore ybs) suatu anggota kolektif tertentu yang berpartisipasi dalam penyebaran tersebut.
  4. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya (pencetus, penggagas, orang pertama kali membuat, memunculkan, melaksanakan, atau mengarang) sudah tidak diketahui lagi.
  5. Folklor biasanya mempunyai pola (berumus). Cerita rakyat misalnya, seringkali menggunakan kata-kata klise seperti “Once upon a time...” atau “Pada suatu hari ...” kemudian ditutup dengan “And they live happily ever after.”
  6. Folklor mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya berfungsi sebagai alat pendidik, penghibur, kritik atau protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam (desire).
  7. Folklor bersifat pralogis, artinya mempunyai set logika sendiri yang seringkali tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
  8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif (masyarakat) tertentu. Hal ini berhubungan dengan cirinya yang anonim sehingga setiap individu dalam kolektif tersebut merasa memilikinya.
  9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali terlihat kasar, karena terlalu spontan. Banyak folklor yang memang merupakan proyeksi emosi manusia yang palin jujur manifestasinya.

Dari ciri-ciri yang telah dipaparkan di atas, diketahui bahwa salah satu ciri utama folklor adalah penyebarannya yang secara lisan, bukan mengandalkan sebuah alat rekam (seperti transkripsi tulisan atau alat rekam modern lainnya). Meskipun begitu, bukan berarti sebuah folklor tidak dapat disebut folklor lagi jika telah diterbitkan dalam bentuk cetakan atau rekaman. “Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama kita mengetahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan” (Dananjaya, 1991:5).

Oke, sekian dulu tentang foklornya. Lebih lanjut saya akan membuat paparan tentang apa saja jenis dan kategorisasi folklor; yang masih bersumber dari Prof. Dananjaya.

Keep reading!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar