Minggu, 04 Agustus 2019

Otaku dan Problem Otakuisme

Harus diakui bahwa otaku adalah istilah yang sering disalahpahami oleh banyak orang baik di Indonesia maupun di luar negeri, termasuk Jepang sendiri. Istilah otaku sendiri sebenarnya diambil dari kata ganti yang kini jarang digunakan dalam bahasa Jepang modern. Jarangnya pemakaian itu mungkin didukung dan mengakibatkan bergesernya pemahaman tentang makna dan fungsi kata otaku itu sendiri. Ditambah lagi dengan sikap, gaya hidup, dan perilaku para otaku itu sendiri yang "berbeda" dari masyarakat lain yang lebih luas, sehingga masyarakat yang lebih luas itu mengucilkan dan menganggap otaku sebagai golongan yang "berbeda". Isolasi sosial ini perlahan-lahan diterima para otaku dan mendorong mereka untuk membangun subkultur yang lebih kuat dari sebelumnya, di dalam masyarakat.

Tentang Otaku

Kalau ada yang bertanya, kenapa mengekspos otaku? Mungkin jawaban spontannya karena penulis sering (sok) merasa bahwa dirinya sendiri adalah seorang otaku ... Ha ha ha. Tapi, bisa jadi kata orang lain bukan. Bisa jadi orang lain menganggap saya sekadar seorang aneh yang sampai umurnya seharusnya sudah punya anak masih saja menggemari tontonan animasi Jepang.

Otaku (おたく) adalah istilah yang sebenarnya berasal dari pronomina (kata ganti) orang ketiga atau orang kedua yang merujuk pada rumah orang lain, keluarga orang lain, atau orang dari keluarga lain tersebut. Jadi, contoh otaku no kuruma (おたくの車) bisa diartikan sebagai ‘mobilnya; mobil keluarganya’. Akan tetapi, di dalam bahasa Jepang kontemporer, kata otaku biasanya merujuk atau menjadi sebutan bagi orang-orang yang sangat menyukai suatu hal (bisa berupa benda tertentu, artis tertentu, hobi tertentu, atau topik tertentu); tingkat kesukaan mereka itu saking tingginya, sampai-sampai memengaruhi sikap dan tingkah laku, ideologi, pemikiran, selera, serta gaya hidup.

Dari pengertian itu, sebenarnya yang bisa disebut sebagai otaku itu banyak macamnya. Mulai dari orang-orang yang menyukai anime sebagai anime otaku, orang-orang yang sangat menyukai artis tertentu, orang-orang yang sangat menyukai model kendaraan (mobil, motor, pesawat terbang, kendaraan militer, dsb), orang-orang yang sangat menyukai kereta api dan kereta api model (mainan atau pajangan), cewek-cewek pencinta sejarah (reki-jou), bahkan orang yang hobi stalking laman Twitter-mu, Facebook-mu, semua media sosialmu, serta tahu banyak tentang profil, hobi, dan riwayat hidup sampai tiga ukuran pribadimu (cewek), bisa disebut otaku

Jadi, istilah otaku memang tidak harus dimaknai sebagai orang-orang yang menyukai anime. Orang yang sangat menggilai hobi tertentu sampai punya pengetahuan berlebih tentang hobinya itu sudah bisa disebut otaku. Namun begitu, di media dan budaya populer secara global, istilah otaku memang lebih menempel alias asosiatif terhadap penggila anime. Hal ini mungkin terjadi karena salah satu budaya populer Jepang yang paling dikenal secara global adalah animasi alias anime itu sendiri. Akibatnya, istilah otaku ya menempel pada otaku anime, bukan otaku hobi lainnya.

Otaku dan Masalahnya


Yang (dianggap) menjadi masalah dari para otaku adalah sikap, tingkah laku, selera, dan gaya hidup mereka yang dianggap aneh dan (bahkan di Jepang sendiri) seringkali dihindari. Anggapan ini mungkin muncul dari beberapa stigma yang melekat pada diri kaum otaku. Misalnya, selera aneh yang terlalu mencintai gambar atau karakter fiktif yang dianimasi (katakanlah, nijikon), gamer yang waktu dan kegiatan sehari-harinya habis untuk bermain game sehingga tidak punya pekerjaan lain yang produktif, membelanjakan uang kepada hal-hal yang dianggap tidak bermanfaat, dan yang sering menjadi objek kontroversi: lolicon, yang rentan oleh awam dianggap mendekati pedofilia. Ada pula yang melekatkan citra (image) bahwa otaku sangat erat dengan hikikomori, penyakit antisosial yang sejak lama mewabah di Jepang dan sempat merepotkan Kousei Roudou Shou (departemen kesehatan, tenaga kerja, dan kesejahteraan sosial) di sana.

Otakuisme dan Konsumerisme

Lantas apa itu otakuisme? Ya, simpelnya sih kata otaku ditambah akhiran -isme, hahaha. Dengan kata lain secara singkat, otakuisme itu paham atau gaya hidup keotakuan. Gaya hidup seperti apa itu? Kalau kita maknai otaku sebagai orang yang suka dengan anime, otakuisme bisa diartikan kurang lebih sebagai gaya hidup seseorang yang hampir atau bahkan seluruh aspek kehidupannya berkaitan atau melibatkan unsur-unsur animasi Jepang alias anime. 

Di Jepang sendiri, tidak bisa dimungkiri lagi bahwa otakuisme sering berujung pada konsumerisme. Bukan hal yang aneh karena otaku adalah orang-orang yang menggemari suatu produk, yaitu produk seni, yang kini sudah menjadi objek kapitalisme ekonomi dan industri yang berbasis konsumen … aduh, keluar lagi ini bahasa rumit. Gomen, gomen . Maksud saya, dewasa ini, anime, manga, dan berbagai objek yang biasanya disukai para otaku kini sudah menjadi objek industri seni yang trennya mengikuti konsumen. Dengan begitu, para produsen anime, manga, dsb cenderung mengikuti selera otaku sebagai konsumen mereka supaya produk mereka selalu laku. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada anime atau manga yang konsepnya yang unik, berbeda dari yang lain, sehingga mampu mendobrak atau menjadi terobosan tren baru.

Yang jelas, otaku sebagai pencinta mati suatu hal seringkali mendedikasikan diri, hidup, dan dompetnya secara total untuk hal yang dia sukai itu. Maka tidak heranlah jika ada semacam pandangan bahwa produsen tinggal menjual produk apapun yang berhubungan dengan hal yang disukai otaku, maka produk itu akan laku diburu oleh para penggemarnya/otakunya. Untuk para otaku anime misalnya, para produsen bisa menjual mulai dari yang berhubungan langsung dengan anime itu, seperti artbook dan fanbook, album soundtrack, drama CD, sampai kaset OVA dan DVD atau BluRay sampai hal-hal yang sekadar meminjam ciri popularitas suatu karakter atau benda di dalam anime yang bersangkutan; misalnya mug bergambar karakter K-On! atau bahkan mug yang mirip dengan mug yang digunakan Azu-nyan dalam K-On!, perlengkapan dan pakaian khusus untuk cosplay, boneka-boneka Nendoroid, action figure, atau bahkan dakimakura.

Bagi para otaku, membeli, memiliki, dan mengoleksi segala hal tentang yang disukainya bukanlah sesuatu yang merepotkan atau merugikan karena mereka mendapatkan kesenangan, kebanggaan, dan kepuasan--setidaknya bagi diri sendiri atau bagi komunitas mereka sendiri. Bagi orang lain di luar komunitas otaku, kebiasaan (atau kewajiban [?]) membelanjakan uang seperti adalah perbuatan merugi dan konyol. Wajar, karena orang di luar komunitas otaku tidak paham tentang rasa senang, bangga, dan puas sebagaimana yang dirasakan kaum otaku.

Akan tetapi, ada pula contoh positif dari penggunaan karakter anime sebagai penarik perhatian massa. Pada September 2010 lalu, pemerintah Prefektur Kyoto menggunakan karakter K-On!! untuk mengampanyekan sensus penduduk dan mengajak partisipasi warganya untuk ikut dihitung. Upaya ini cukup berhasil, entah karena memang ke-moe-an Yui dkk. berhasil menggaet perhatian masyarakat atau karena memang sebelumnya banyak otaku yang enggan dihitung--spekulasi aja.

Suka Budaya Jepang, Mengabaikan Budaya Sendiri?

Nah, sekarang kita beralih fokus ke negeri sendiri. Menurut pendapat penulis sendiri, di sebagian kecil wilayah Indonesia, otakuisme--khususnya otaku anime--sudah bukan lagi barang baru. Mungkin munculnya otakuisme di Indonesia ini dipicu oleh munculnya siaran-siaran anime, tokusatsu, kaijuu, dan super sentai di berbagai stasiun televisi swasta sejak awal dekade 90-an. Para otaku anime senior pasti kenal yang namanya Minky Momo, Mojacko, 21 Emon, Ge-Ge-Ge no Kitaro, Kickers, dan berbagai judul lain. Saking menjamur dan populernya tayangan hiburan anak yang diimpor dari Jepang, saya rasa para otaku senior akan setuju kalau masa-masa dekade 90-an sampai awal milenium baru adalah Indoneshia ni anime no kogane jidai, インドネシアにアニメの黄金時代, zaman keemasan anime di Indonesia.

Salah satu dari pandangan miring dari masyarakat awam terhadap kaum otaku di Indonesia raya ini adalah sifat otaku yang cenderung memihak dan mengutamakan kebudayaan asing (sebut saja Jepang) daripada kebudayaan negerinya sendiri. Pandangan ini, meskipun miring, bukan berarti salah karena pada kenyataannya di lapangan, bisa diamati bahwa banyak otaku yang memang bersikap seperti itu: sangat menyukai kebudayaan Jepang sampai-sampai ada yang mengkultuskan (mendewakan) kebudayaan tersebut. Masyarakat, khususnya yang nasionalismenya tinggi, tentu tak suka sikap seperti ini.

Akan tetapi, sikap otaku yang demikian tidak semuanya semata-mata karena terlalu suka kebudayaan asing. Ada pula di antara para otaku yang sikap pemujaan budaya Jepangnya muncul akibat kekecewaannya terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Mungkin mereka muak melihat sikap masyarakat bangsa sendiri yang mengaku-ngaku bahwa orang Indonesia itu ramah, sopan, dan sebagainya padahal pada kenyataannya (setidaknya kenyataan yang mereka lihat di kehidupan sehari-hari) jauh dari itu semua. Lantas, kekecewaan itu berkembang menjadi sikap antipati, dan akhirnya semakin memperkuat motivasi mereka mencintai kebudayaan asing.

Sikap antipati itu saya akui sesuatu yang salah, karena seburuk apapun sikap dan kebudayaan bangsa sendiri, kita lahir, tumbuh, makan dari hasil tanah dan laut, serta menghirup udara yang ada di tanah air ini, yang dimiliki oleh bangsa ini. Dengan demikian, apapun yang terjadi pada kebudayaan bangsa, sudah sepatutnya kita lebih berpihak pada kebudayaan asli kita itu. Kalau toh pada akhirnya ada hal-hal negatif atau ada hal-hal yang kita nilai salah pada kebudayaan bangsa, sepatutnya kita justru melakukan kritik, koreksi, atau mengajukan reformasi terhadap unsur budaya yang dianggap salah itu--tentunya dengan kesiapan mental, upaya, dan argumentasi yang mantap untuk menghadapi orang-orang atau budaya yang kita anggap salah. Ringkasnya, jika ada sesuatu yang salah, lebih baik diperbaiki atau dikoreksi (dengan cara yang baik dan patut, tentu) daripada dibiarkan dan ditinggalkan; karena jika dibiarkan dan ditinggalkan, hal yang salah itu tentu akan tumbuh dan berkembang semakin salah, bukan?

Kalau para otaku bisa bersikap demikian, saya yakin masyarakat awam bisa menerima otaku sebagai orang yang menyukai kebudayaan asing namun tidak melupakan--bahkan berupaya memperbaiki--keluhuran budaya bangsa sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar